10 Sep 2009

Makna Kata ‘Ukhuwah’ Sebenarnya…

Musim semi kini telah tiba

Bunga-bunga bermekaran

Di sepanjang jalan warna berganti

Segar asri berseri… di hati…

“Aku ingin keluar dari jama’ah ini!”, sepotong kalimat terlontar dari seorang ikhwah. Bukan untuk pertama kali, namun sudah tak terhingga kalimat ini mengiang di telinga kita. Bukan pula yang terakhir kali, karena inilah sunatudda’wah. Pertanyaan ini senantiasa membekas di setiap zaman, di setiap episode da’wah, dari zaman kenabian sampai hari kiamat.

“Silahkan akhi....silahkan ukhti....”, jawab seorang ikhwah menimpali. Beberapa dari kita memepersilahkan kepergian saudara dari barisan ini dengan sikap biasa-biasa. Sikap yang lahir dari pemahaman bahwa hal ini merupakan sunnah da’wah, bahwa akan selalu lahir ikhwah-ikhwah baru, mujahid-mujahid baru, bahwa Islam akan tetap terpelihara sehingga tidak pantas barisan ini merengek-rengek demi menahan kepergian seseorang, bahwa seleksi alamiah berlaku untuk membersihkan orang-orang yang barangkali memang kurang pantas menegemban amanah ini. Sikap ini tidak salah, banyak yang menerapkan dengan apa adanya, maka akhirnya tidak sedikitlah yang benar-benar mundur dari barisan ini.

Saat kita bersemangat, memiliki level iman yang stabil atau sedikit lebih baik, kita seolah-olah melihat saudara kita pun seperti kita. Menerapkan standar stabilitas keimanan kita kepada saudara-saudara kita, atau bahkan adik (ikhwah baru) kita. Maka, ketika kondisi saudara kita tidak stabil, sedang mengalami fluktuasi iman, futur, kita pun menganggapnya sebagai kader manja. Kita menlihatnya dengan perspektif berbeda dengan apa yang dirasakannya atau yang dibutuhkannya. Kita yang stabil memaksa agar ia bisa survival bertahan di garis keimanan. Sehingga kita tidak merasa terlalu perlu untuk memberinya nasihat, atau motivasi-motivasi keimanan. Sementara betapa ia butuh sentuhan-sentuhan perhatian kita.

Kita berpikir bahwa suatu saat, kita akan hidup sendiri tanpa seorang ikhwah yang menemani di suatu daerah. Sehingga kita mengira bahwa kita harus bersiap-siap untuk hal tersebut. Maka ketika ada seorang yang futur, kita bersikap seolah-olah tidak peduli padanya. Dan ketika dia benar-benar mengucapkan, “selamat tinggal”, kita menyalahkannya atas kelemahannya. Kita menyelamatkan diri atas kesalahan dari futurnya saudara, dengan hiburan-hiburan bahwa ini adalah sunatudda’wah.

Tidak sedikit kisah-kisah futurnya ikhwah dari barisan ini setelah tarbiyah bertahun-tahun. Buka hal yang mengejutkan memang, ulama bahkan ada yang murtad, berganti haluan, ustadz pun ada yang terjatuh, saat tergiur indahnya dunia. Kehilangan seseorang yang telah memiliki kepahaman dan mobilitas da’wah yang tinggi, apakah bisa diganti dengan masuknya 50 orang baru dalam barisan ini, tanpa kepahaman dan aksi da’wah yang mapan? Lepasnya seorang kader produktif apakah bisa ditutupi dengan hiburan bahwa 50 orang yang baru-baru mengikuti dauroh tahap awal, dengan produktivitas da’wah yang masih nol?

Saudaraku, apakah orang yang baru tarbiyah 1 atau 5 tahun telah bisa menyamai kepribadian Ka’ab bin Malik ra.? Nilai keimanan memang tidak bisa diukur dengan lamanya tarbiyah, namun kita bisa melihat secara umum bagaimana kondisi keimanannya dengan parameter usia interaksinya dengan da’wah. Apakah kita akan menyikapi seorang yang baru setahun liqo dengan sikapnya Musa As. kepada Harun As. saat beliau menarik jenggot saudaranya? Atau kita mencoba mengikuti marahnya Abu Bakar ra. kepada Umar ra. yang memilih jalur ‘lembut’ dalam menyikapi Musailamah dan orang-orang yang menolak zakat? Sekeras itukah kita berperilaku terhadap seorang ikhwah.

Di mana senyummu saat pertama bertemu bersama dalam da’wah ini, di mana pelukmu seperti kepada adik-adikmu yang baru masuk dalam aksi tarbiyah? Kunjungilah saudaramu, ketika lama ia tidak menyapamu, smslah ia saat tidak pernah muncul-muncul dalam pertemuan keimanan. Datangilah mereka yang lemah, mereka yang manja, tularkan petuah-petuah juangmu. Apakah benar sudah saatnya mereka survival dalam menjaga stabilitas keimanannya? Tidak, tidak ya ikhwah, cukuplah derai air mata ini, cukuplah kesedihan hilangnya seorang ikhwah ‘berhenti sampai di sini, dekaplah dan tahanlah mereka yang hendak pergi.

Kuntum bunga boleh layu, namun rekahnya bunga-bunga mujahid harus terjaga tetap hadir di sebuah kebun...

Dunia ibarat sebuah terminal

Hanya tempat persinggahan

Bersabarlah hadapi ujian

Tak kan lama kan tinggal...

Artikel ini diberikan oleh Abdul Rahim saat kita masih duduk di bangku sekolah berseragamkan putih abu-abu. Hanya ingin sedikit berbagi agar tak perlu ada yang mengundurkan diri dari ‘semua’ ini.