Menikah mungkin masih menjadi kata yang aneh jika dibicarakan di lingkungan kampus. Jiwa-jiwa muda mahasiswa masih begitu ingin bebas berekspresi tanpa ingin disibukkan dengan masalah lain apalagi pernikahan. Namun bagaimanapun, tidak dapat kita pungkiri bahwa kita pasti akan melalui fase-fase ini: entah beberapa tahun lagi, dalam waktu dekat ini, bahkan mungkin ada yang telah lolos melewatinya. Jadi, tidak ada salahnya jika kita sedikit membahas tentang hal ini.
Islam adalah agama yang komprehensif.. Artinya, ia adalah agama yang mengatur setiap hal, mulai dari ilmu pengetahuan, sosial, politik, budaya, dan sebagainya, dimana pernikahan juga termasuk kedalam salah satu halnya. Maka pernikahan serta prosesi-prosesi yang mendahuluinya juga telah diatur oleh syariat secara rinci sesuai dengan Quran, hadist, serta ijtihad-ijtihad para ulama.
Menurut Ustadz H. Bukhari Yusuf, MA (Dewan Pengawas Syariah Persada Network), pernikahan dalam Islam memiliki dua urgensi, yaitu sebagai sunnah dan sebagai kebutuhan fitrah manusia. Oleh sebab itu, kita tidak boleh melakukan prosesi ini secara "asal jadi", karena sesungguhnya ketidaklurusan prosesnya akan sangat berpengaruh pada penciptaan keluarga yang diharapkan.
Masih menurut ustadz yang juga mengajar di Al-Hikmah ini, proses pernikahan islam itu dibagi menjadi 3 tahap: tahap pranikah, walimatul nikah, dan pascanikah. Tahap pranikah dimulai dari proses yang disebut dengan ta'aruf. Yang perlu digarisbawahi adalah ta'aruf ini tidak sama dengan pacaran. Ta'aruf adalah proses saling mengenal antar dua calon. Yang penting tidak terjadi khalwat berduaan, bisa kalanya ditemani dengan keluarga dekat atau lebih dari dua orang, sekurang-kurangnya dua wanita untuk ta'aruf. Dalam ta'aruf ini tidak akan terjadi pengenalan secara mendalam. Oleh karena itu, mutlak dibutuhkan orang lain, orang yang dekat dengan si calon pengantin itu contoh keluarga atau teman dekat—analoginya adalah untuk tahu sebuah sekolah, kita tidak cukup tahu brosurnya saja, tapi perlu dengar dari para lulusan........................ ..............
Avidati (22), Mahasiswi FMIPA UI Jurusan Matematika angkatan 2004
Istri dari Shofwan Al-Banna (Mahasiswa Berprestasi Nasional 2006)
Mbak Avi, begitu ia biasa disapa, sedikit tersipu ketika harus menceritakan kembali prosesnya menuju pelaminan bersama Shofwan Al-Banna. Sebuah proses yang tak terduga menurutnya.
Bermula ketika ada seorang kakak kelas yang bertanya tentang kesiapannya untuk menikah. Untuk mahasiswi yang baru semester enam saat itu, tentu saja pertanyaan ini bukan hal yang dapat dengan mudah dijawab. Masih banyak hal yang harus dipertimbangkan, mulai dari statusnya yang masih sebagai mahasiswa, amanahnya dikampus, tanggung jawab materi pada keluarga, hingga urusan keluarga besar. Saat itu nama Shofwan Al-Banna belum sekalipun terucap, yang ia tahu tentang pria ini hanyalah seorang mahasiswa yang insyaAllah shaleh dan siap untuk menikah, maka pertimbangan yang diambil insyaAllah tidak dicampuri oleh ego pribadi. Pertimbangannya memang tidak mudah, hingga pada satu waktu mbak Avi sempat memutuskan untuk mundur dari proses tersebut jika saja si pria ini tidak tetap bersikeras untuk mempertahankannya. Akhirnya Allahlah yang memberikan kemantapan untuk tetap melanjutkan proses tersebut yang tiga bulan kemudian bermuara pada pelaminan. .............................. ..........
Proses Pernikahan Islam Dipandang dari Aspek Psikologis
Banyak yang berpendapat negatif mengenai proses pernikahan Islam, pasalnya proses mengenal yang sangat singkat dikhawatirkan akan membuat seseorang tidak cukup mengenal pasangannya. Belum lagi alasan cinta yang belum tumbuh diantara keduanya ditakutkan menimbulkan ketidaksiapan psikologis untuk menjalankan bahtera pernikahan. Menurut mbak Inna Muthmainnah, Psi., kita ditawarkan dua alternatif jalan menuju sebuah pernikahan, yaitu melalui proses pacaran ataukah dengan proses yang diajarkan oleh islam.
Islam adalah agama yang komprehensif.. Artinya, ia adalah agama yang mengatur setiap hal, mulai dari ilmu pengetahuan, sosial, politik, budaya, dan sebagainya, dimana pernikahan juga termasuk kedalam salah satu halnya. Maka pernikahan serta prosesi-prosesi yang mendahuluinya juga telah diatur oleh syariat secara rinci sesuai dengan Quran, hadist, serta ijtihad-ijtihad para ulama.
Menurut Ustadz H. Bukhari Yusuf, MA (Dewan Pengawas Syariah Persada Network), pernikahan dalam Islam memiliki dua urgensi, yaitu sebagai sunnah dan sebagai kebutuhan fitrah manusia. Oleh sebab itu, kita tidak boleh melakukan prosesi ini secara "asal jadi", karena sesungguhnya ketidaklurusan prosesnya akan sangat berpengaruh pada penciptaan keluarga yang diharapkan.
Masih menurut ustadz yang juga mengajar di Al-Hikmah ini, proses pernikahan islam itu dibagi menjadi 3 tahap: tahap pranikah, walimatul nikah, dan pascanikah. Tahap pranikah dimulai dari proses yang disebut dengan ta'aruf. Yang perlu digarisbawahi adalah ta'aruf ini tidak sama dengan pacaran. Ta'aruf adalah proses saling mengenal antar dua calon. Yang penting tidak terjadi khalwat berduaan, bisa kalanya ditemani dengan keluarga dekat atau lebih dari dua orang, sekurang-kurangnya dua wanita untuk ta'aruf. Dalam ta'aruf ini tidak akan terjadi pengenalan secara mendalam. Oleh karena itu, mutlak dibutuhkan orang lain, orang yang dekat dengan si calon pengantin itu contoh keluarga atau teman dekat—analoginya adalah untuk tahu sebuah sekolah, kita tidak cukup tahu brosurnya saja, tapi perlu dengar dari para lulusan........................ ..............
Avidati (22), Mahasiswi FMIPA UI Jurusan Matematika angkatan 2004
Istri dari Shofwan Al-Banna (Mahasiswa Berprestasi Nasional 2006)
Mbak Avi, begitu ia biasa disapa, sedikit tersipu ketika harus menceritakan kembali prosesnya menuju pelaminan bersama Shofwan Al-Banna. Sebuah proses yang tak terduga menurutnya.
Bermula ketika ada seorang kakak kelas yang bertanya tentang kesiapannya untuk menikah. Untuk mahasiswi yang baru semester enam saat itu, tentu saja pertanyaan ini bukan hal yang dapat dengan mudah dijawab. Masih banyak hal yang harus dipertimbangkan, mulai dari statusnya yang masih sebagai mahasiswa, amanahnya dikampus, tanggung jawab materi pada keluarga, hingga urusan keluarga besar. Saat itu nama Shofwan Al-Banna belum sekalipun terucap, yang ia tahu tentang pria ini hanyalah seorang mahasiswa yang insyaAllah shaleh dan siap untuk menikah, maka pertimbangan yang diambil insyaAllah tidak dicampuri oleh ego pribadi. Pertimbangannya memang tidak mudah, hingga pada satu waktu mbak Avi sempat memutuskan untuk mundur dari proses tersebut jika saja si pria ini tidak tetap bersikeras untuk mempertahankannya. Akhirnya Allahlah yang memberikan kemantapan untuk tetap melanjutkan proses tersebut yang tiga bulan kemudian bermuara pada pelaminan. .............................. ..........
Proses Pernikahan Islam Dipandang dari Aspek Psikologis
Banyak yang berpendapat negatif mengenai proses pernikahan Islam, pasalnya proses mengenal yang sangat singkat dikhawatirkan akan membuat seseorang tidak cukup mengenal pasangannya. Belum lagi alasan cinta yang belum tumbuh diantara keduanya ditakutkan menimbulkan ketidaksiapan psikologis untuk menjalankan bahtera pernikahan. Menurut mbak Inna Muthmainnah, Psi., kita ditawarkan dua alternatif jalan menuju sebuah pernikahan, yaitu melalui proses pacaran ataukah dengan proses yang diajarkan oleh islam.
Kita bahas terlebih dahulu alternatif yang pertama. Pacaran mungkin kini menjadi hal yang marak terjadi, bahkan hingga hilang esensinya. Bukan lagi berorientasi pada pernikahan tetapi justru hanya ingin bersenang-senang dan tak jarang hingga melangkahi batas-batas yang islam syariatkan. Untuk saat ini kita persempit masalah menjadi mereka yang memang berorientasi pada pernikahan. Menurut mbak yang pernah menjadi pengasuh rubrik curhat Majalah Annida ini, kasus perceraian yang terjadi, justru banyak datang dari mereka yang awalnya telah melewati proses pacaran hingga beberapa tahun. ......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar