Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk di sampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan…
-Ebiet G Ade, Berita Kepada Kawan-
Laksana petir menggelegar, saya mendengar berita itu (gempa di Sumatera Barat). Sampai terbawa mimpi, saya seakan melihat kejadian tersebut persis saya alami. Puji syukur pada Rabb semesta alam atas kebaikan-Nya masih menjaga saudara di kota Padang.
Paragraf dan bait lagu di atas merupakan sekelumit cerita yang berpilin satu sama lain dengan kisah berikut ini. Mari kita simak baik-baik.
Alkisah, hari itu kejadian itu terjadi. Betapa kaget diri saya setelah tidak mengikuti satu mata kuliah karena alasan sepele, LUPA. Pun demikian dengan berita gempa dan kabar kehidupan mad’u (sejujurnya saya lebih senang memanggilnya dengan sebutan ‘sahabat karib’) saya. Bagaimanalah saya tidak menyangka, sahabat karib saya ternyata memiliki masalah yang cukup kompleks.
Sebelumnya, mari kita kenang kembali cerita tentang sahabat-sahabat karib saya. Ada beberapa orang (selama ngampus dari semester 1 hingga semester 3 sekarang) yang pernah menjadi sahabat karib saja, buka telapak tangan kita, lalu kita akan tahu ada berapa banyak kepala yang pernah nempel-nempel dengan diri saya. Salah satunya sudah bergabung dengan barisan yang sedang saya ikuti pula, yang lain dalam masa processing untuk bergabung bersama pula. Akan tetapi, yang terakhir disebutkan ini agak berbeda. Background-nya sahabat saya yang satu ini agak berbeda, dia pintar dan sudah pernah mengikuti kegiatan rutin pekanan sebelumnya (bahkan saya diberi tahu siapa guru mengaji dan mengkajinya), meskipun masalah penampilan akhirnya dia hijrah juga (bahkan saya disuruh memilihkan pakaian yang cocok baginya, cocok warna dan cocok harga pula). Finally, dia berubah. Total. Ikut ngaji lagi. Tambah pintar pula. Tambah laptop pula (yang ini tak termasuk ya?). Pada awalnya, tak pernah tebersit sedikitpun niat untuk berkarib dengannya karena saya takut gagal. Sungguhlah saya teramat takut gagal karena dia memiliki segalanya. Pintar. Finansial berkecukupan. Supel. Ramah. Jaringan yang luas. Bagaimanalah saya mampu. Bagaimanalah saya bisa menyelesaikan ini dengan manis (semanis kembang gula). Akan tetapi, keberhasilan ini mematahkan argumen saya sebelumnya. Saya berhasil! Lantas, saya tidak mundur. Saya maju! Mari kita lanjutkan cerita ini tentang sahabat karib berikutnya. Dia seorang aktivis. Bahkan, jika total aktivitas kelembagaan saya dijumlahkan dengan miliknya, saya masih kalah karena dia ikut LD yang lebih besar daripada LD yang saya ikuti sekarang ini. Awalnya, saya banyak berdiskusi dengannya tentang penampilan. Akan tetapi, keterlibatan aktifnya di organisasi LD tersebut memiliki andil cukup besar untuk membantu proses diskusi kami yang mengakibatkan penampilannya semakin rapi saja. Diskusi tersebut berlanjut hingga membuatnya memiliki kegiatan rutin pekanan. Tunai sudah merengkuhnya. Kini saatnya mencari karib baru. Ternyata, karib baru saya kali ini orangnya (sangat) lebih tinggi (tubuhnya) daripada saya (but, it’s ok, no problem). Ada banyak hal yang saya diskusikan dengannya. Namun, saya merasa kurang sanggup covering pertanyaan-pertanyaannya yang bejibun itu. So, saya serahkan ia kepada karib saya yang pertama tadi (toh dia juga mendapat tugas mencari sahabat karib pula, tetapi nampaknya karib pertama saya melempar balik pada saya, fiuh). Nah, karib saya yang terakhir ini agak berbeda dari karib-karib sebelumnya. Dia belum dihijab, benar. Mentoringnya masih pasif, benar. Gitu deh, dia merupakan mahasiswi tipe kuliah dengan sedikit organisasi. Banyak hal saya bagi padanya (dan orang-orang di atas juga) termasuk hal sensitif seperti tim pemenangan dan sebagainya karena bagi saya dia cukup mengerti, hanya saja tidak terlalu respek dengan hal tersebut. Sampai hari itu, hari ketika hujan turun kali kedua di kota belimbing. Dia menceritakan masalah keluarganya. Dan saya belajar menjadi pendengar yang baik (seperti yang sering digaungkan orang-orang bahwa pendengar yang baik itu langka di bumi ini) baginya. Ternyata masalahnya kompleks. Tak seperti yang saya bayangkan. Sungguh, lebih berat bahkan daripada masalah keluarga saya (mungkin, hanya asumsi hati saja). Dari percakapan (yang saya lebih banyak diamnya) itu, saya tahu tentangnya. Dan saya baru menyadari, tidak semua orang (spesifikasi: teman satu jurusan, satu angkatan) mau membagi masalah keluarganya pada orang seperti saya yang bertipe sanguinis ini. Harapan saya tak muluk-muluk: masalahnya selesai dan dia bisa mendapatkan teman-teman kajian pekanan yang (jauh) lebih baik daripada saya, mau mendengarkan lebih sabar lagi tentang keluh-kesahnya tentunya dengan penyelesaian masalah yang relevan dengan keadaannya. Sungguhpun bila hari itu hujan tak turun, entah kapan saya akan mendapat sesi praktikum materi ‘Menjadi Pendengar yang Baik’. Betapa hujan itu betul-betul membawa berkah.
Begitu pun dengan hujan di Tanah Andalas. Seperti hari itu, langit dan bumi sudah menjalankan perintah Sang Khaliq secara total, tidak setengah-setengah. Setelah bumi menggoyang negeri di salah satu belahan Sumatera itu, langit menurunkan tetes-tetes air keberkahan bagi penduduk negeri. Lihatlah itu, mungkin karena suatu hal yang belum saya ketahui negeri itu dihujani keberkahan. Ya, keberkahan. Karena air langit itu tidak turun menyerbu dengan ganas sehingga membuat danau tambahan di daratan seperti yang biasa terjadi di ibukota. Sungguh, bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Betapa kalimat ini benar adanya, analoginya seperti kegiatan yang baru saja diceritakan itu. Sungguh relevan dengan kondisi tepi zaman seperti sekarang ini.
Lantas, apa hubungannya dengan bait lagu Bang Ebiet tadi? Tentu saja ada hubungannya. Tak pahamkah kita, semuanya memiliki ikatan, pilinan yang berkaitan. Saya hanya ingin mencari sahabat karib yang bisa menemani perjalanan yang undescribable ini. Meskipun tak terbayangkan (sulitnya), keyakinan (iman) akan Firman Rabb semesta alam pada paragraf sebelumnya sudah cukup menjawab semuanya. Semuanya.
Baiklah, kisah ini sudah selesai. Mudah-mudahan bersahabat karib pun dapat diselesaikan dengan manis pula. Amin.
Ahh ya, saya jadi teringat dengan sahabat karib lama saya. Dia sudah menjadi salah satu petinggi fakultas di universitas kita ini. Betapa saya ingat, tak pernah sedikitpun dulu (masa putih-abu-abu) terlintas di benak saya untuk membahas-bahas tentang pakaian yang sesuai perintah Rabb kami. Tiba-tiba pesan pendek yang sebelumnya diterjemahkan dalam kombinasi string 1 dan 0 menyembul di ponsel jadul saya. Isinya kira-kira berupa pertanyaan apa saja yang harus dia beli untuk membungkus tubuhnya dengan pakaian taqwa. Sungguh, betapa terkejutnya saya. Segera saya mengucap kalimat terima kasih pada sang Ilah. Kelanjutan ceritanya, ia tetap konsisten dengan pilihannya sekalipun belum ada anggota keluarganya yang mengikuti jejaknya.
Dan ia kini sudah tumbuh menjadi gadis yang baik hati dan menyenangkan. Dia amat disukai banyak kalangan karena kebaikannya. Meski setelah cerita tersebut selesai, saya tetap berusaha belajar banyak darinya. Belajar akan perubahan. Ya, perubahan. Mudah-mudahan perubahan itu memberikan manfaat yang berlimpah bagi penduduk bumi seraya diamini penduduk langit. Seperti hujan (yang membawa berkah), perubahan (yang baik dan memberikan manfaat) tentunya akan disaksikan Sang Khaliq sebagai sebuah effort untuk berlari menuju-Nya dan dicatat baik-baik oleh the guardian di samping kanan kita.
Pun demikian, mudah-mudahan penduduk langit sekiranya mau berbaik hati mencatat keinginan saya lantas membimbing agar keinginan itu tercapai, memandang wajah Allah sekaligus bercengkerama dengan-Nya, Rabb semesta alam.
Asri Nur Chiquita
Matematika
FMIPA
2008
UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar