Kita hidup di Negara Indonesia dan kita disebut sebagai orang timur karena letak geografis Negara kita berada di sebelah timur, meskipun sebenarnya tidak jelas kita ini berada di timur atau barat. Masalahnya ialah orang timur dianggap memiliki tata karma, sopan santun, dan moral yang jempolan. Selain itu, negeri kita ini juga kaya. Tidak hanya kaya akan alamnya, tetapi juga kaya akan penghuninya. Penghuninya pun beraneka rupa: tumbuhan, hewan, manusia tipe I (masih sangat tradisional atau pekerjaannya bertani atau nelayan), manusia tipe II (sudah mulai berkembang kehidupannya, mata pencahariannya berdagang), manusia tipe III (manusia yang sudah maju dengan ilmu pengetahuannya), sampai makhluk yang kasat mata pun menghuni negeri kita.
Negara kita pun terbagi menjadi tiga wilayah: timur, tengah, dan barat. Masing-masing memiliki ciri khas kedaerahannya, bisa ditandai dengan flora-faunanya, bahasanya, adat istiadatnya, dsb. Jantung negara terletak di bagian barat Indonesia dan saya merupakan salah satu penghuni daerah tersebut.
Ternyata, tak hanya saya yang bermukim di ibukota, tetapi juga pendatang-pendatang lain dan warga asli Jakarta tentunya yang membuat kota ini semakin heterogen saja. Maksudnya heterogen ialah terjadinya asimilasi atau akulturasi budaya setempat dengan budaya pendatang. Pendatang di sini pun jangan hanya diartikan sebagai pendatang intern negara kita saja, orang-orang asing pun juga merupakan pendatang ke kota kita ini dan mereka pun membawa serta kebudayaan asli mereka, pastinya.
Apa kabar Indonesia? Saya rasa Indonesia sedang bergejolak. Politik, ekonomi, sosial, pertahanan, keamanan, budaya, moral, tanah, laut, desa, kota, semuanya sedang bergejolak. Bergejolak karena sedang diuji oleh Allah atau bergejolak karena marah pada penghuninya, atau entahlah, saya belum mendapatkan jawabannya hingga sekarang.
Sekarang, mari kita tilik satu saja aspek yang sedang bergejolak, moral. Betapa bangsa ini sedang diiris-iris moralnya. Di-infiltrasi oleh kebudayaan barat yang malah meruntuhkan dinding moral bangsa kita. Apalagi sasarannya ialah anak muda yang merupakan calon-calon pemimpin dunia masa depan. Tak hanya pemudanya, para orang-orang tua pun dirasuki faham barat, lebih banyak mengarah ke individualisme. Begitulah cara orang-orang yang tak suka dengan perkembangan Islam, mereka menyerang wilayah-wilayah yang banyak didiami orang Islam dan mulai melakukan invasi terhadap pemikiran dan moral terutama para pemudanya.
Mau contoh? Mudah saja bagi saya untuk menjelaskannya. Apakah kamu pernah bepergian menggunakan angkutan kota? Jika ya, mungkin kamu pernah mengalaminya. Kita klasifikasikan angkutan kota di ibukota menjadi 3 jenis: kereta listrik, bus kota, mobil angkutan kota (biasa disebut angkot). Mari kita bahas dari bus kota. Ada banyak bus kota di Jakarta. Pada waktu dan tempat tertentu, bus kota bisa saja dipenuhi dengan warga Jakarta dan sekitarnya untuk keperluan transportasi mereka. Kita sudah tahu bahwa pengguna alat transportasi ini tak hanya orang muda dan dewasa, tetapi juga ada lansia, ibu hamil, dan orang yang tak cukup mampu lainnya untuk berdiri lama di dalam bus (apalagi kalau bus-nya nge-tem menunggu isinya tambah berjubel). Kadang, saya berpikir “koq, ada ya yang tega nge-biarin orang-orang itu berdiri”. Sepertinya, moral orang timur itu seakan tidak melekat lagi di diri para penghuni ibukota. Bagaimana dengan mahasiswa yang idealis itu? Kadang, masih ada tuh yang tega membiarkan kakek-kakek renta berdiri padahal dia sedang asyik sms-an sambil dengerin iPod. Atau bahkan, orang dewasa yang pura-pura tertidur. Fenomena ini juga bisa kita rasakan di kereta listrik. Di sana, kita akan lebih miris lagi karena kereta listrik bisa jadi lebih sesak dibandingkan bus kota. Lalu, bagaimana dengan angkot? Kalau yang ini, beda lagi ceritanya. Biasanya, penumpang angkot ini suka gak mau minggir alias memudahkan orang lain masuk. Mereka yang didominasi kaum ibu-ibu lebih suka duduk di dekat pintu karena akan memudahkan mereka keluar karena mikirnya mereka bakalan turun paling awal alias destinasi mereka paling dekat. Padahal, belum tentu kan? Kadang, sampai membuat kesal sang supir karena waktu untuk menaikkan dan/atau menurunkan penumpang menjadi lebih lama dan malah membuat macet.
Apa yang bisa saya baca dari kejadian di atas? Toleransi warga Jakarta masih rendah dan respek terhadap orang lain pun kurang terasa. Hal ini mengakibatkan ego yang semakin tinggi. Padahal, jika kita mau bertoleransi kesenjangan sosial dapat teratasi dan berbagai masalah lainnya juga terselesaikan. Hidup kita akan tenang dan tentram sehingga tak perlu lagi was-was. Islam sendiri sudah mengajarkannya dalam QS Al-Ma’idah ayat “... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Maka dari itu, solusi terbaik ialah kembali pada Al-Qur’an, pedoman hidup yang sudah dijamin sendiri oleh Khaliq kita, Allah Swt. Karena itu, pengembangan moral berbasis Al-Qur’an sangat diperlukan, dapat dimulai dari diri sendiri dan terus berlanjut hingga seluruh warga Indonesia memiliki moral dan mampu mengembalikan identitas ke-timur-an kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar